Ulama Bijak dan Pedagang Sayur
Oleh adminaba pada Rabu, 20 November 2013 06:13 WIB
Di sebuah desa, tinggallah seorang Ulama yang terkenal karena kebijaksanaannya. Ulama ini sering ditanya dan dimintai nasihat oleh orang-orang desa. Salah satu penduduk desa itu adalah seorang pedagang kecil yang tiap hari berkeliling untuk berjualan sayur dengan menggunakan kereta kudanya.
Pada suatu hari si pedagang kecil itu tertimpa suatu kemalangan. Satu-satunya kuda yang dimilikinya, mati mendadak. Dia sangat kebingungan karena tidak mempunyai kuda pengganti. Dia pun tidak memiliki uang untuk membeli kuda baru. Akibatnya, sayur dagangannya menjadi busuk karena tidak teijual. Dengan sedih, dia menemui Ulama itu.
"Tuan, tolonglah aku. Aku sedang mendapat musibah. Kuda satu-satunya yang merupakan tulang punggung untuk mencari nafkah, mati. Aku tak bisa lagi mencari uang untuk anak istri. Bukankah ini adalah musibah yang buruk bagiku?" keluh si pedagang.
"Mungkin ya, mungkin juga tidak," jawab sang Ulama singkat.
Pedagang itu bingung dengan jawaban Ulama tersebut. Dia sama sekali tidak mengerti apa maksud perka-taan Ulama itu. Dia pun pulang dengan tangan hampa. Keesokan harinya, tiba-tiba di halaman rumah pedagang, muncul seekor kuda liar. Kudanya masih muda, kekar, dan sehat. Dia pun mengambil kuda itu. Hatinya bahagia. Akhirnya, pedagang tersebut bisa beijualan lagi.
"Tuan, ternyata ucapan Tuan benar. Sekarang, aku punya kuda yang lebih baik. Bukankah ini hal yang terbaik yang aku dapatkan?" pedagang itu kembali menemui sang Ulama.
Namun, seperti sebelumnya Ulama itu hanya berkata, "Mungkin ya, mungkin tidak."
Lagi-lagi pedagang itu kecewa dan bingung dengan jawaban itu. Beberapa hari kemudian, anaknya yang masih muda mencoba untuk menaiki kuda baru. Dia jatuh dan kakinya diinjak oleh kuda. Kaki anak kesayangannya patah. Betapa sedih hati pedagang itu. Anaknya yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarga kelak, sekarang malah lumpuh. Pedagang itu pun kembali mendatangi Ulama bijak itu.
Ia berkata, "Tuan, aku benar-benar mendapat musibah. Anakku kini kakinya lumpuh dan tidak bisa bergerak. Tuan, sekarang pasti setuju bahwa musibah yang aku alami adalah musibah yang paling buruk."
Ulama itu lagi-lagi berkata, "Mungkin ya, mungkin juga tidak".
Mendengar perkataan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, kini pedagang tersebut menjadi benar-benar marah. Dia lalu pulang sambil menggerutu. Sebulan kemudian, keriaan sedang mengalami perang dengan kerajaan lain karena kekurangan tentara. Kerajaan pun mewajibkan setiap pemuda yang berbadan sehat untuk menjadi tentara. Karena lumpuh, anak pedagang itu dibebaskan dari kewajiban itu. Akhirnya, sekarang sangpedagang bersyukur dan mengerti maksud dari ucapan Ulama bijaksana.
Pada suatu hari si pedagang kecil itu tertimpa suatu kemalangan. Satu-satunya kuda yang dimilikinya, mati mendadak. Dia sangat kebingungan karena tidak mempunyai kuda pengganti. Dia pun tidak memiliki uang untuk membeli kuda baru. Akibatnya, sayur dagangannya menjadi busuk karena tidak teijual. Dengan sedih, dia menemui Ulama itu.
"Tuan, tolonglah aku. Aku sedang mendapat musibah. Kuda satu-satunya yang merupakan tulang punggung untuk mencari nafkah, mati. Aku tak bisa lagi mencari uang untuk anak istri. Bukankah ini adalah musibah yang buruk bagiku?" keluh si pedagang.
"Mungkin ya, mungkin juga tidak," jawab sang Ulama singkat.
Pedagang itu bingung dengan jawaban Ulama tersebut. Dia sama sekali tidak mengerti apa maksud perka-taan Ulama itu. Dia pun pulang dengan tangan hampa. Keesokan harinya, tiba-tiba di halaman rumah pedagang, muncul seekor kuda liar. Kudanya masih muda, kekar, dan sehat. Dia pun mengambil kuda itu. Hatinya bahagia. Akhirnya, pedagang tersebut bisa beijualan lagi.
"Tuan, ternyata ucapan Tuan benar. Sekarang, aku punya kuda yang lebih baik. Bukankah ini hal yang terbaik yang aku dapatkan?" pedagang itu kembali menemui sang Ulama.
Namun, seperti sebelumnya Ulama itu hanya berkata, "Mungkin ya, mungkin tidak."
Lagi-lagi pedagang itu kecewa dan bingung dengan jawaban itu. Beberapa hari kemudian, anaknya yang masih muda mencoba untuk menaiki kuda baru. Dia jatuh dan kakinya diinjak oleh kuda. Kaki anak kesayangannya patah. Betapa sedih hati pedagang itu. Anaknya yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarga kelak, sekarang malah lumpuh. Pedagang itu pun kembali mendatangi Ulama bijak itu.
Ia berkata, "Tuan, aku benar-benar mendapat musibah. Anakku kini kakinya lumpuh dan tidak bisa bergerak. Tuan, sekarang pasti setuju bahwa musibah yang aku alami adalah musibah yang paling buruk."
Ulama itu lagi-lagi berkata, "Mungkin ya, mungkin juga tidak".
Mendengar perkataan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, kini pedagang tersebut menjadi benar-benar marah. Dia lalu pulang sambil menggerutu. Sebulan kemudian, keriaan sedang mengalami perang dengan kerajaan lain karena kekurangan tentara. Kerajaan pun mewajibkan setiap pemuda yang berbadan sehat untuk menjadi tentara. Karena lumpuh, anak pedagang itu dibebaskan dari kewajiban itu. Akhirnya, sekarang sangpedagang bersyukur dan mengerti maksud dari ucapan Ulama bijaksana.
"Sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu baik bagi diri kita. Sebaliknya, apa yang menurut kita tidak baik justru bisa merupakan hal yang baik bagi kita."