Abdullah adalah seorang saudagar kaya yang sibuk. Sejak kecil dia memang sudah bercita-cita kelak akan sukses. Kesuksesannya berkat dorongan dari ibunya. Abdullah tidak ingin hidup miskin seperti keluarganya. Ketika usahanya semakin besar, kesibukan Abdullah semakin bertambah. Beruntung, Abdullah menemukan jodoh dari kalangan yang sama-sama sukses, meski mereka memiliki usaha yang berbeda. Nama istrinya Khadijah. Abdullah dan Khadijah menjadi pasangan yang ideal dalam segala hal. Hal itu tentu sangat membanggakan keluarganya, apalagi ibunya yang begitu menyayangi Abdullah.
Pada suatu hari, Abdullah membeli rumah di luar kota dan berencana merintis usaha di kota tersebut.
"Berarti kau akan meninggalkan kota ini?" tanya sang ibu sedih.
Abdullah memeluk ibunya. "Ibu bisa ikut bersamaku ke kota itu," ujar Abdullah.
"Ibu betah di sini. Ini adalah kota kelahiran sekaligus ingin menjadi kota di mana Ibu meninggal kelak."
"Ibuku sayang, jangan khawatir. Kalau Ibu tidak ikut
dengan kami, kami akan sering menengok Ibu," kata Abdullah.
Dengan berat hati, akhirnya sang ibu merelakan Abdullah dan istrinya pindah.
"Ibu sudah tua. Sering-seringlah menengok Ibu," pesan ibu dengan air mata mengalir.
Abdullah mengangguk.
Kesuksesan Abdullah berulang. Di kota yang baru, Abdullah mencapai sukses, bahkan lebih sukses. Kesuksesan Abdullah seiring dengan kesibukan yang dia miliki. Setiap hari, dia harus melayani begitu banyak pelanggan sehingga sejak kepindahannya dia belum pernah menengok ibunya. Khadijah selalu menggantikan suaminya untuk berkunjung ke rumah ibunya.
Jika sang ibu bertanya mengenai Abdullah, Khadijah mengatakan, "Dia sungguh sibuk, Ibu. Dia belum sempat menengok Ibu," jelas Khadijah.
Ibu begitu rindu pada Abdullah. Ya, kesibukan Abdullah memang semakin menggila. Selain sibuk melaya¬ni pelanggan, Abdullah harus berkunjung dari satu kota ke kota lain untuk membeli barang dagangan.
"Apakah Abdullah merindukan Ibu seperti Ibu merindukannya?" tanya ibu Abdullah sambil menatap Khadijah.
Dengan sigap Khadijah menjawab, "Tentu saja dia merindukan Ibu. Tapi, semoga Ibu mengerti akan kesibukannya. Kesuksesan seperti inilah yang telah Ibu dan suamiku cita-citakan sejak lama, bukan?" tanya Khadijah
Ibu tertunduk diam. Dalam hatinya, membenarkan apa yang dikatakan menantunya. Ia selalu mendoakan anaknya akan menjadi orang yang sukses dan bisa membeli apa pun yang dia mau. Bukankah saat ini kiriman Abdullah pun tak pernah absen ada di rumahnya?
"Anak Ibu sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk kesuksesannya. Semoga Ibu bangga," lanjut Khadijah.
"Tapi, Ibu sangat merindukannya. Katakanlah pada suamimu, datanglah kemari walau hanya satu kali," kata ibu Abdullah dengan gemetar.
Khadijah lalu mengatakan hal itu pada Abdullah.
"Aku pun sangat merindukannya, tapi aku tidak bisa meninggalkan pekeijaanku," Abdullah beralasan.
"Datanglah sebentar," saran Khadijah.
"Aku yakin Ibu mengerti dengan kesibukanku," ujar Abdullah.
Hari demi hari berlalu. Abdullah tetap tidak memiliki waktu untuk mengunjungi ibunya.
Khadijah datang ke tempat sang ibu dan menjelaskan mengenai kesibukan suaminya. Rupanya Ibu dapat memahami itu, tapi tetap mengatakan, "Katakan pada suamimu bahwa Ibu sangat merindukannya dan datanglah kemari walau hanya satu kali."
Ketika Khadijah mengatakan itu pada Abdullah, Abdullah sangat bangga pada ibunya.
"Ibu yang mendorongku untuk sukses. Aku yakin Ibu bangga padaku dan beliau memahami kesibukanku," katanya.
"Datanglah sebentar ke rumah Ibu," pinta Khadijah.
’Ya, aku akan menyempatkannya jika waktuku sedikit luang."
Namun, niat Abdullah tak pernah kesampaian. Dia semakin sibuk dan lupa akan kerinduan ibunya.
Sampai suatu hari, seorang tetangga ibunya datang dan menyampaikan berita mengejutkan.
"Ibumu berpesan, datanglah ke rumah, walau hanya
satu kali. Ibumu jatuh sakit karena memendam rindu padamu," kata tetangga ibunya itu.
Abdullah dan Khadijah langsung pergi ke kota ibunya. Namun, kedatangan mereka terlambat. Ketika tiba di rumah, ibunya sudah dipanggil oleh Sang Khalik. Abdullah langsung memeluk jasad ibunya.
"Ibu, ini anakmu. Aku datang menjengukmu," ucapnya lirih. Rasa sesal menyeruak dalam dirinya. Begitu pedih sakit yang dirasakannya ketika tanah mengubur jasad ibunya.
Berkali-kali, Abdullah bertanya pada istrinya, ’Apakah aku sudah menunaikan keinginan Ibu untuk menjenguknya walau hanya sekali saja?" tanyanya dengan gemetar.
Khadijah menggenggam tangan Abdullah.
"Inikah konsekuensi dari kesuksesan yang aku peroleh?" tanya Abdullah. "Seandainya Ibu memberiku kesempatan untuk menatap wajahnya yang teduh dan senyumnya yang indah, aku tidak akan menjenguknya hanya satu kali, tapi setiap kali. Ibu, maafkan aku," lanjut Abdullah.
Rintihan Abdullah begitu menyayat. Kemudian, dia bersimpuh di kuburan ibunya. Air matanya membanjir. Kini, hanya penyesalan yang dia miliki.
’Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi ) orangtuamu. Barang siapa mengabaikan
orangtuanya maka dia kafir. "
-HR Muslim