Mas! aku mau beli pulsa!" panggil seorang rekan di kantor dari depan mejanya. Saat itu aku sedang berjalan pada lorong menuju ruang kerjaku. Kuhentikan langkah. Berbelok arah ke meja Siska, rekan yang memanggilku.
"Aku mau isi pulsa buat nenekku," Siska mengambil ponsel kemudian mencari nomor kontak pada ponselnya.
"Wah! Jarang-jarang ada cucu yang perhatian sama neneknya," candaku sambil menyelami hati sendiri. Aku mengingat-ingat saat dulu ketika tinggal bersama nenek. Tak banyak hal baktiku pada nenek, sesal batinku.
Rupanya, Wati yang tak jauh dari tempatku berdiri merasa tersindir. "Wah, kayaknya nyindir, nih!" sambil ia membalikkan badannya ke arahku.
"Maaf Mbak Wati, kalau merasa tersindir. Saya nggak ada niat nyindir," jawabku sambil melempar senyum.
Wati memaklumi dan ia ikut nimbrung, "Mas, aku punya cerita lucu tentang neneknya si Ade yang baru meninggal...," ia memulai. Satu hari, si Ade anakku yang berusia 5 tahun baru mendengar kabar neneknya meninggal. Selang beberapa waktu, pembantuku bilang, "Bu, tadi ada telepon dari mbah-mbah adalah dari nenek yang berbeda, sudah sampai di Madiun," katanya.
"Lho, emangnya mba ditelepon nenek?" tanya si Ade bertanya lebih lanjut karena penasarannya dengan polosnya. "Emang waktu dimakamkan Mama masukin handphone di samping nenek? Mereknya apa, mbak?" tanyanya semakin penasaran.
Wati hanya tersenyum, menyimak pertanyaan si Ade.
"De! Nenek neleponnya dari wartel," pembantuku tak kalah menjawab dengan gurauannya jelas wati.
Ade manggut-manggut setelah Bundanya menjelaskan, bahwa mbah yang dimaksud adalah mbah yang berbeda dengan nenek yang baru saja meninggal . *jwb*