Saya baru saja memecat 200 karyawan di saat saya baru aktif bekerja sejak 4 bulan yang lalu."
Pengakuan sang bapak membuat pemuda itu terkejut. Dia terus beristigfar kepada Allah atas hal yang baru saja kudengar. Sepintas hatinya tidak henti-hentinya bertanya, "Mengapa dia memutuskan untuk mengambil tindakan tersebut?" Mungkin bagi sebagian orang "Merumahkan" karyawan adalah bahasa yang biasa di dengar. Namun bagaimana dengan hati nurani? Apakah dia tidak menitipkan pesan kepada sang bapak untuk lebih berhati-hati dalam memutuskan apa yang menjadi penyambung rezeki orang- orang yang bekerja kepadanya.
Sang bapak terus berusaha menjelaskan alasan logisnya kepada sang pemuda. Pemasukan yang tidak kunjung naik, target yang tidak tercapai, kinerja yang terus menu run, menjadikan alasan kuat baginya untuk memecat 200 orang, sungguh jum- lah yang tidak sedikit bagi siapa pun yang mendengarkan.
Dia terus-menerus menceritakan tindakannya yang tepat sambil berusaha meyakinkan pemuda yang sama sekali tidak berpengalaman sebagaimana dirinya. Hingga suatu saat sang pemuda itu bertanya;
"Pak, mohon maaf, adakah yang lebih mengerikan dari memecat 200 karyawan di saat mereka akan menghadapi lebaran?"
Sang bapak pun kaget mendengar pertanyaan anak muda yang ada di depannya. Bahasa tubuhnya menandakan reaksi penolakan atas apa yang ditanyakan kepadanya.
"Mungkin memecat karyawan adalah tindakan yang pasti bapak ambil, karena bapak memang memiliki wewenang dan alasan atas hal itu. Namun hati nurani saya belum bisa menerima, bahwa bapak bukan hanya merumahkan 200 karyawan namun bapak telah merumahkan 200 kepala keluarga, yang masing-masingnya memiliki tanggung jawab 2-5 anak yang masih bersekolah atau masih dalam usia bermain. Dan bapak melakukannya di saat mereka membutuhkan sesuatu sebagai bekal rezeki tambahan menuju lebaran, hari di mana Allah memberikan kemenangan bagi hamba-hamba-Nya, hari di mana semua keluarga
berkumpul dan membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk sekadar menyambung silaturahim dengan sanak keluarga di kampung mereka masing-masing."
Nada suaranya pun merendah dan berusaha untuk terns meyakinkan dirinya bahwa dia telah memutuskan sesuatu yang tepat. Sang pemuda pun kembali bertanya dengan pelan, dengan harapan ada sesuatu yang bisa diambil hikiriah untuk ke depannya.
"Bukankah bapak baru bekerja 4 bulan? Minimal 1 tahlijm seorang karyawan bisa beradaptasi dengan dunia kerjanya, bapak baru bekerja sekian bulan dan bapak berani mengambil keputusan untuk orang-orang yang sudah bekerja bertahun- tahun di kantor bapak. Dan saat ini maaf pak, bapak sedang duduk di ruang tunggu bersama saya sembari menunggu panggilan interview, dan jelas ini bukan perusahaan bapak."
Sang bapak mulai gelisah dengan pertanyaan anak muda di depannya. Sembari mengelap keringatnya dia berusaha menjelaskan bahwa dia memutuskan untuk mencari pekerjaan di perusahaan lainnya. Perusahaan tempat dia bekerja, pastinya akan dirugikan untuk membiayai 200 karyawan tanpa ada pemasukan dari mereka. Perusahaan
akan colaps dan dia harus mencari cara untuk keluar dari permasalahan ini. Dia digaji berjuta-juta namun tidak pernah tenang dan selalu dihantui rasa bersalah atas keputusan yang diambil. Dan dia mengakui satu hal yang disepakati oleh anak muda yang ada di depannya bahwa, "Kita perlu mendengar hatinurani ketika memutuskan sesuatu yang melibatkan hajat hidup orang banyak, dan dia telah melupakan hal itu."
Sang pemuda pun menepuk pundaknya sembari berkata, "Meski sepele, sempatkan ya pak untuk meminta maaf kepada mereka, mungkin ini tidak perlu kita lakukan, dan bisa jadi ini bukanlah cara yang bisa memaafkan keputusan yang telah diambil, namun inilah cara sederhana untuk mengingatkan kita bahwa kita masih memiliki hati nurani, kita mau mendengarnya dan kita melakukannya untuk mengasah hati nurani kita agar menjadi bagian dari keputusan yang kita ambil"
Sang bapak mengangguk dan anak muda itu pun tersenyum empati, bagaimanapun nasihat tidak perlu menghakimi, cukuplah menjadi pengingat bahwa hati nurani menjadi penting untuk menenangkan diri kita, libatkan dia dalam keputusan yang kita ambil, dan gunakan dia untuk merasakan apa yang
terjadi di lingkungan kita, sehingga kita perlu berpikir secata bijak sebelum mengambil keputusan.
"Banyak orang kaya hidup dengan berjuta-juta kemewahan, tapi sejarah hanya mengenal orang-orang besar yang melibat- kan hati nuraninya untuk mengawal setiap keputusan hidup- nya dan kehidupan orang banyak."